Kedai Kopi
Suara riuh
rendah terdengar dari jauh dan dekat, bincang-bincang antar manusia di setiap
sudut. Bau-bau kopi tercium mesra dipenuhi sesak oleh para lelaki paruh baya.
Mereka seakan melepas penat seharian dengan secangkir kopi.
Saya sungguh
takjub dengan kopi dan gelasnya yang begitu kecil. Ia mampu membias pengunjung
kedai kopi duduk hingga punggung kebas. Kopi tercipta sebagai alat komunikasi
politik yang mengemuka.
Ngopi yok?
Kata-kata itu
seakan membius untuk segera duduk di kedai kopi. Mengisi bangku-bangku dan
mengisi perut dengan sejumlah panganan menggugah selera. Walaupun penuh
kesederhanaan, kedai kopi bak ketenangan sejenak sembari menarik nafas.
Letaknya yang strategis semakin memudahkan langkah kaki bergerak.
Saya merasa
kedai kopi klasik punya sesuatu berbeda yang ditawarkan. Duduk terkulai manja di kursi “malas”
membuat tubuh dan tulang belakang merenggang senang. Letaknya yang di sudut
jendela makin begitu syahdu, hembusan angin serasa menghilangkan gerah.
Secangkir kopi
meluncur dengan cepat, panasnya seakan bisa buat lidah terbakar. Cukup hebat si
bartender kopi, ia sengaja membuat kopi sepanas mungkin, kalau bisa dara bara
letusan gunung api. Si pemilik kedai kopi tahu dengan kopi yang panas, durasi
duduk di kedai kopi juga lama. Sudah pasti dagangannya yang lain habis pula.
Hal lain yang
buat saya begitu takjub adalah koran-koran menganggur yang buat hati pengunjung
berontak membaca. Isu-isu yang kadung hangat sehangat kopi membuat koran jadi
barang pertama yang ditanyakan oleh pengunjung.
Sebuah
kenikmatan tersendiri saat membolak-balikkan halaman koran, membaca satu
persatu rubik berita dari ujung kiri atas sampai kanan bawah. Cara ini
dilakukan untuk kopi segera mendingin, namun pengunjung tetap meminum
perlahan-lahan. Itu bak sebuah kebiasaan yang begitu mengikat, bahwa tak afdal
minum kopi secepat kilat.
Baca juga: Eksistensi Tulisan
Ada satu hal
lain yang begitu melalaikan di kedai kopi klasik, andai di kedai kopi
konvensional Wi-fi adalah nyawa. Di kedai kopi klasik koran dan papan catur
punya peran membuat waktu berjalan cepat. Sebuah slogan tak
tertulis seakan terpampang bagi penantang catur:
Laki tanding bila lawannya sebanding!!!
Pikiran berpikir
keras, agar bidak catur berpindah dan menusuk setiap sisi pertahanan lawan
sampai kata SKAK MAT terdengar.
Hari pun beranjak sore, terlihat dari kejauhan si
anak datang dan memanggil si bapak.
Pak,... di suruh pulang sama ibu, jangan asik duduk manja di kedai kopi.
Kata-kata itu
seakan bak petir yang menyambar....
Iya nak, dan
secepat kilat si bapak pulang sambil memegang tangan si anak untuk beranjak
pulang. Kemesraan kedai kopi kadang buat pengunjungnya lupa waktu hingga anak
istri sudi kiranya datang ke situ.
Kedai kopi juga
jadi sejumlah inspirasi lahir, ia bak sebuah tempat ramai namun dalam konteks
dimensi berbeda. Saling memikirkan dan merenungkan apa yang harus dilakukan
nanti. Tak heran begitu banyak penikmat kopi adalah pemikir ulang, merehatkan
pikiran sejenak untuk ide besar.
Itulah berbagai hiruk-pikuk kedai kopi, ia bak
pelepas dahaga dan pemberi tenaga. Selepas keluar dari sana ada satu hal yang
terpikir dalam benak hati saya.
Waduh...? janji ketemuan dengan si dia kok bisa lupa!!!
Diriku sama dengan bapak tadi!!
Itulah kekuatan yang ditularkan oleh kedai kopi dan
jangan sampai janji yang batal terulang kembali.
Tags:
Non-fiksi
2 comments
Apakah si pemilik blog ini juga tergiur dengan kenyamanan di kedai kopi? Klu iya., diakui ke Aceh-annya! :D
ReplyDeleteLumayan nyaman, apalagi bila wi-finya ngebut!!
Delete