Malam mulai larut,
saat semua manusia lainnya tertidur lelap di atas ranjang dan berselimut. Ada
manusia-manusia aneh yang tidak bisa tidur, memikirkan sesuatu yang begitu
besar. memperhatikan layar komputernya tanpa henti.
Rasa gugup dan
keringat dingin mengucur deras ke seluruh wajah, baju pun basah akibat ulahnya.
Perasaan itu seakan tak bisa ditahan lagi karena para wanita seakan memberi magnet
kuat yang begitu menjadi-jadi, si pria pasrah dengan phobia aneh yang ia alami.
Nyawa tak
terancam namun batin begitu tertekan saat sesosok wanita datang, tubuh seakan
merasakan sebuah stimuli berlebih tak karuan. Melihat gadis cantik secara
visual seakan membuat diri ini gugup, takut dan hilang kepercayaan diri.
Wanita adalah
makhluk dengan sejuta kode, memainkan perasaannya hingga si lelaki kebingungan
hebat. Permainan tebak-tebakan jadi alasan mengapa lelaki bingung, Ia ibarat
mengikuti ujian akhir yang andai salah ia tak lulus.
Aku hanya secarik
kertas putih tanpa noda sedikit pun, bau pabrik tempat diriku diproduksi masih
begitu kentara. Kadang aku dengan beberapa lembar kertas lain masih begitu
menyatu satu sama lain hingga begitu sulit untuk dipisahkan.
Menjadi kertas
putih hidup seperti tanpa satu titik pun yang tertulis di situ. Nilai yang
melekat di diriku masih begitu kosong melompong. Kadang bisa berakhir di tong
sampah atau menjadi sebuah mahakarya karena tulisan yang terpampang di
dalamnya.
Memang itu semua
di luar kuasa si kertas, ia hanya media dan yang menuliskan adalah manusia yang
punya ide cemerlang. Ia hanya jadi sebuah kertas yang jadi coret-coretan saja
kemudian terbuang di dalam tong sampah di sudut kelas.
Sebenarnya si
kertas ingin lebih, ia punya niat dan berharap yang menulis memberikan sesuatu
lebih. Menuliskan kata-kata puisi yang kemudian bisa nangkring di Mading
sekolah. Semua ikut takjub akan tulisan itu, ia menempel di tubuhku ujar si
kertas.
Ada pula sebuah
surat cinta yang diberikan kepada si pujaan hati, kata-kata manis dan mesra
tersusun manja. Tulisan tersebut buat hati pujaan hati yang serba tertutup
seakan luluh pula. Iya mengiyakan apa cinta terpendam si pengirim surat.
Bahagia bukan main!! Berkat secarik kertas dua sejoli saling senyam-senyum
sendiri.
Baca juga: Tahun Baru, Sebuah Dimensi Waktu
Seorang bapak yang
sedang sakit keras seakan ia tinggal menunggu waktu “tutup buku”, ia berkata
kepada anak dan istrinya yang sudah lama menemaninya sakit. Berikan saya
secarik kertas dan sebuah bolpoint, aku ingin menuliskan sesuatu ujar si bapak.
Dengan sekuat
tenaga ia menuliskan beberapa kata-kata hingga menjadi sebuah kalimat. Tertulis
di atasnya, surat wasiat. Si kertas punya jasa penyambung lidah dan kata-kata
terakhir si bapak.
Di tempat yang
jauh, sedang berlangsung ujian tahap akhir. Semua mahasiswa begitu gugup
menjawab soal-soal ujian. Mereka sebahagian panik dan sebahagian lagi leluasa
menjawab. Air muka begitu terlihat dari setiap wajah peserta ujian. Baru berapa
saat ujian berlangsung, teman paling cerdas di kelasnya sudah mengisi semua
jawaban.
Baca juga: Eksistensi Tulisan
Namun terlihat
kontras dengan teman-teman yang lain, ia merasa tak enak hati. Kode-kode
memberi jawaban mengarah dari bangku belakang. Ia langsung mengeluarkan secarik
kertas untuk membagikan sontekan kepada teman-temannya. Sesaat pengawas lengah,
ia menyodorkan kertas ke arah teman-temannya.
Si mahasiswa cerdas itu keluar kelas dengan riang
gembira, tapi senyumnya seakan luntur. Ia lupa bahwa jawaban yang ia berikan
adalah jawaban ganjil, sedangkan mereka dapat soal genap. Secarik kertas
mengubah nasib teman-temannya. Itulah kekuatan secarik kertas, tak ada yang
menyangka pengaruh besar yang ia berikan.
Berbicara itu
mudah diucapkan, tersampaikan atau terabaikan begitu saja, lalu menghilang
terbawa oleh angin yang bertiup. Masuk ke dalam telinga dan tak berapa lama
kemudian terabaikan. Semua bisa dengan mudah berucap dan bisa dipahami oleh
mendengarkannya.
Cuaca juga sebagai
pembentuk watak dan sifat masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data dan fakta
yang terungkap, kekerasan dan peperangan banyak terjadi di daerah yang beriklim
relatif panas. Sedangkan daerah dingin sedikit adem ayem menyikapi permasalahan
dan lebih baik berdamai layaknya alam.
Banyak yang
mengatakan cuaca erat dengan kemajuan, walaupun anggapan seperti itu hanya
hipotesis semata. Bangsa yang kehidupannya relatif standar rendah alias tak
punya iklim yang terlalu ekstrem cenderung hidup dengan biasa-biasa dan hanya
menjadi bangsa yang biasa-biasa pula.
Tak perlu
persiapan buat menghadapi cuaca iklim dengan persiapan makanan, pakaian khusus
dan hal khusus lain. Saat itulah manusia yang punya persiapan lebih matang akan
punya rencana yang lebih jelas ke depan. Itulah kenapa negara kemajuan bangsa
punya kemajuan dalam hal sektor iklim.
Suasana yang
nyaman membuat manusianya terlena untuk maju
Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, toh cuaca tropis kita bisa bercocok tanam kapan saja, pergi
ke mana saja, dan bisa pakai pakaian yang sama tanpa mengindahkan musim. Itulah
yang membuat kenapa manusia yang hidup di daerah beriklim tropis sedikit
tertinggal dibandingkan dengan masyarakat di daerah subtropis.
Baca juga: Fenomena Gunung Es
Tidak bisa
dipungkiri, cuaca sebagai tembok ketahanan umat, dengan cuaca kadang masyarakat
sering mengeluh dan kadang sering senang bahagia. Anggapan itu mereka yang
hidup di daerah relatif ekstrem, baik terlalu dingin dan panas punya dayang
saing lebih kuat. Sedangkan negeri yang beriklim sedang, kadang terkesan tak
setangguh mereka yang tadi.
Perubahan cepat
itu penting dan alam mengajarkan sedemikian penduduk yang hidup di zona
tertentu untuk menyesuaikan segala perubahan secepat mungkin. Perubahan ibarat
masalah dan butuh secepat mungkin mengambil keputusan. Bila tidak, terima
sendiri akibatnya.
Apakah bangsa yang
beriklim “nyaman” tak bisa maju dan berpikir lebih cepat bangsa beriklim tak
nyaman?
Itu proses
pembiasaan dan mau berubah, tak ada
masalahnya cuaca dan karakter sepenuhnya. Semua bisa diubah atau bawaan dari
lahir, ada yang pemarah tapi hidup di daerah dingin atau karakter adem ayem di
suasana nan panas.
Cuaca hanya
pengontrol sifat walaupun tak tunduk sepenuhnya. Begitu pulalah segala
kemungkinan terburuk yang cuaca berikan. Tak punya persiapan walaupun berada di
kondisi iklim ekstrem atau malah punya segenap persiapan walaupun di daerah
terjamin sepanjang tahun.
Walaupun begitu,
cuaca dan bangsa ibarat sebuah paradoks pengikat. Mau tak mau harus seperti ini
dan seperti itu. Karena mengenal suatu individu manusia berbeda negeri, tak
butuh ikatan cuaca, ia butuhkan sebuah ikatan emosional.
Ikatan yang
membaurkan si panas dan si dingin menjadi sebuah ikatan hangat. Karena itulah
mengapa cuaca pemberi stereotip suatu bangsa bisa sedikit luntur. Semua itu
kembali ke jiwa masing-masing yang terlalu atau sulit berdamai dengan alam.
Mengenal Penulis
Top of The Top
-
Filosofi pohon, semakin rindang dan banyak buahnya makin banyak manusia yang memanfaatkannya. Terik panas yang membakar di siang hari ...
-
Hari mulai senja dan jam pulang kerja pun tiba, semua manusia yang bekerja hendak pulang ke rumahnya. Menghidupkan kendaraan-kendaraan...
-
Gunung terlihat menjulang tinggi, seperti ingin sekali menusuk-nusuk langit. Rupanya yang menjulang terlihat begitu gagah dari kejauhan. Sem...
-
Burung mulai bersiap-siap mengepakkan sayapnya untuk pulang ke rumah, langit mulai terlihat redup bercampur warna kekuningan. Matahari mulai...
-
Gelombang laut adalah benda laut yang sangat setia, tak pernah berpaling dari bibir pantai. Pernahkah dari kalian melihat gelombang laut sam...