Silent Treatment

Secara tak langsung jawaban yang kamu berikan perlahan berkurang. Rasanya tak asyik seperti dulu, seakan ada benteng besar yang menghalangi di dirimu. Setiap aku membuka ponsel, selalu ada jawaban dari dirimu.

Rasanya aku seperti senyum-senyum sendiri saat chatting dengan kamu. Dopamin berpacu dengan sangat banyak, memenuhi otak yang membuat hati begitu bergembira. Aku merasa begitu gembira dengan itu semuanya.

 

Namun saat itu mood dia mendadak berubah...

Secara tak langsung, ia membatasi diri. Seakan tak ada kegembiraan lagi. Rasanya jemarinya mendadak diam, seakan tak mampu mengetik sedikit pun. Balasan dirinya yang dulu sangat cepat dan panjang, mendadak pendek. 

Di saat itulah dopamin terasa berhenti, seribu pertanyaan muncul di dalam pikiran. Salah seorang pasangan seakan merasa bersalah. Ia bingung setengah mati, mengapa ia bisa berubah dengan begitu cepat. 

Apa yang membuat dirinya berubah sedemikian rupa. Apakah aku yang salah, ia yang insecure atau bahkan tak ada lagi ketertarikan lagi dalam dirinya. Rasanya aku merasa tersiksa dengan itu semua. 

Apa mencoba bertanya kenapa kamu berubah?          

Tapi dia pun tidak merespons atas segala pertanyaan yang aku tanyakan pada dirinya. Semuanya tak ada rasa bahagia lagi. Tak ada lagi emoji yang selama ini aku kirimkan kepada dirinya. Rasanya di masa ini adalah hal yang paling melelahkan. 

Setiap saat mencoba melihat notifikasi di ponsel yang masuk dari dirinya. Namun tak ada jawaban, hanya notifikasi orang lain. Rasanya tak gunanya lagi ponsel, ingin ponsel yang mahal ini dilempar jauh ke dalam laut. 

Masa saat silent treatment pun terasa berat, apalagi bila ada jarang yang memisahkan. Andai saja jaraknya dengan, sangat mudah untuk bertemu dan bertanya. Apa yang terjadi pada kamu saat ini, bila ia menghindar itu ada masalah besar. 

Namun beda halnya terpisah jarak, seakan silent treatment begitu menyiksa. Jam terasa seperti hari, hari terasa seperti minggu, sedangkan minggu terasa lamanya layaknya bulanan. Di posisi ini, adalah posisi paling menyakitkan. 

Ingin rasanya mengakhiri ini semua, hati sudah membuncah tak karuan. Segala penyesalan seakan sudah di ujung kepala. Seakan ini terucap di dalam pikiran: Sebaiknya hubungan kita berakhir saja. Aku seakan hanya berjuang sendiri sedangkan kamu diam dalam sepi. 

Aku coba menuliskan segala sesuatu dengan panjang lebar, sebelum semuanya harus berpisah. Aku menjelaskan semuanya dan ini bisa jadi chat terakhir dengannya. Maafkan atas segala kesalahanku terdahulu, mungkin ini jadi chat terakhir yang kamu baca. 

Kamu bisa memilih hidup sendiri dengan dirimu masing-masing. Dan bila kamu membaca dan bahkan tidak membalasnya beberapa jam atau hari ke depan. Aku akan paham, sepertinya akan berakhir. 

Lalu mendadak ia membalas dengan panjang lebar, ada typing dari dirinya. Seakan semuanya terasa ada harapan. Lalu ia berkata dalam chat panjangnya: Aku ngga marah kok, cuman aku hanya ingin coffe cup yang kamu bawa kemarin. 

Oh ternyata itu... kenapa ngga bilang sih? Kamu sih ngga peka! Dheg!!!

Share:

0 comments