Keberadaan Rezeki
Kita sering
mendengarkan kata-kata bijak:
Rezeki sudah diatur, sebagaimana pun usaha tetap sudah ada kadarnya.
Tak ada makhluk di
dunia ini yang tak kebagian rezeki, Sang pencipta sudah membagi rata bahkan
hingga hewan pengerat yang hidup di bawah akar pepohonan. Ia juga tetap
kebagian sesuai kadarnya.
Manusia? Apa lagi.
Saya sering sekali
mendengar kata-kata pesimistis seorang yang kesulitan mencari pekerjaan.
Bingung silih kemari karena semua berkas lamarannya ditolak. Sambil menggerutu
ia berujar: bila tidak dapat kerjaan, makan apa besok dan bagaimana melunasi
kontrakan yang mulai ditagih.
Sungguh pilu,
hanya belum mendapatkan pekerjaan yang susah dan ditambah menyalahkan keadaan.
Saya rasa manusia ini belum merasakan sensasi tantangan pekerjaan menjadi
seekor nyamuk betina.
Menggigit dan
mengambil manusia untuk bisa mematangkan telur-telurnya, ia harus bertarung
antara hidup dan mati. Pilihan yang begitu sulit, ia harus menjalankan
pekerjaan penuh risiko ini dibandingkan berdiam diri. Di situlah rezekinya dan
meluruskan hati apapun yang terjadi nantinya. Tak pernah ada hewan yang
mengeluh akan kesulitannya, bahkan kesulitannya melebihi tantangan yang sering
manusia hadapi saat ini.
Begitulah rezeki,
sudah pasti tinggal tanggal mainnya, tinggal mengoptimalkan usaha dan doa. Saya
pun melihat rezeki tak perlu bersusah-payah dan kadang butuh proses payah
menggapainya.
Saya
menganalogikan rezeki dalam dunia sepak bola ibarat menunggu bola dan menjemput
bola. Menunggu bola ibarat rezeki yang sudah pasti-pasti dan tak perlu
mengeluarkan usaha lebih. Semua makhluk dapat rezeki model seperti ini tanpa
disangka-sangka.
Baca juga: Pemacu Adrenalin
Saya memberi
contoh saat seorang pengangguran yang terduduk manja di kedai kopi, pak RT yang
kebingungan mencari pekerja melihat si pengangguran memiliki tenaga. Pak RT
mengajak untuk bekerja dengannya untuk mengecat rumah. Apa lacur, si
pengangguran keciprat rezeki hasil menunggu bola. Iya hanya butuh menjawab iya
atau tidak buat menolak bola yang mengarah kepadanya.
Rezeki kedua
datangnya sedikit banyak membutuhkan tenaga dan usaha, harus menjemput bola.
Mencari pekerjaan, mengenyam pendidikan dan membuka usaha ialah proses menjemput
rezeki itu datang. Di level ini manusia ingin menggapai rezeki di pohonnya.
Ibarat buah mangga ranum di pucuk pohon, butuh tangga atau memanjat untuk
mendapatkannya.
Namun harus
diingat, proses ini tak selalu berhasil. Manusia boleh berusaha, Allah yang
mengatur layak atau tak layak kita mendapatkannya. Bisa saja saat menggapai
dengan tangga, di tengah jalan anda terperosok jatuh ke bawah tanpa
menghasilkan apa-apa. Berusaha lagi dan lagi hasilnya tetap nihil, itu berarti
bukan rezeki anda.
Ada rezeki lain
yang tak terduga tanpa harus memanjat. Rezeki itu seperti luput dari
penglihatan. Hasilnya tak kalah jauh dibandingkan menjemput sesuatu bukan
rezeki anda. Bisa saja saat rezeki itu digapai, rasa sombong dan membusungkan
dada bahkan meremehkan orang lain. Dan Allah lebih baik tak memberikannya
sebagai bukti cinta kepada anda.
Jadi tak perlu
khawatir tak kebagian rezeki, melakukan dengan melakukan hal-hal curang,
mencomot rezeki orang atau bahkan menghalangi rezeki orang lain. Burung merpati
tak pernah salah masuk kandang, ia tahu ke mana ia melepas penat seharian
terbang.
Begitu pula aliran
rezeki, tak ada urusan harus bekerja atau tidak bekerja, rezeki pasti datang
dengan sendirinya. Jadi tak usaha terlalu menakutkan masa depan dan rezeki tak
pernah berbohong, ia pasti datang.
Terbaik dari segalanya membawa segenap berkah walaupun
sedikit jumlahnya. Jadi jangan pernah ragu dengan kepada keberadaan rezeki dan
sang pemberi rezeki.
Tags:
Renungan
0 comments