Selasa Kelabu


Tak ada yang menyangka itu adalah selasa kelam di kota metropolitan dunia, New York. Langit begitu cerah dan aku siap dengan pekerjaan baruku di sebuah restoran ternama. Bagaimana bangganya diriku bisa bekerja di sebuah restoran tertinggi di kotaku. Orang tuaku di negara bagian pasti tersenyum bangga dengan pekerjaanku saat ini.


Menjadi koki tak ayal jadi mimpi nyata dan restoran tempat kerjaku dipenuhi pekerja dan pengunjung super elit. Mereka umumnya berdasi dan berdompet tebal, pastinya hanya yang terbaik datang ke situ.

Kini merupakan minggu keduaku di tempat baru, karier panjang seakan mengantarkan ke puncak karier. Tempat mewah, gaji mantap, rekan bersahabat, dan bos super akrab. Semua seperti mimpi yang ingin terus berlanjut.

Hari ini selasa, menunjukkan aku sudah melewati senin bahagia kemarin. Aku pun kena jadwal pagi itu. Semua harus bergegas dengan menempuh dengan kereta bawah tanah, turun di stasiun pemberhentian, dan tak beberapa lama berjalan kaki ke tempat kerja.

Gedung tempatku bekerja begitu gagah, ia ibarat pohon raksasa di tengah kota yang terlihat dari kejauhan. Aku bekerja di sana dan lantai 63 adalah letak restoran kami, berada di tengah seakan sudah jelas melihat panorama Kota New York yang penuh warna.

Tapi saat aku ingin berjalan ke sana, gerombolan polisi sedang sibuk. Ada sebuah peringatan bahwa akan ada serangan bom pagi itu. Menurut dugaan bom tersebut diletakkan di bawah terowongan jalan. Semua serba macet dan dipenuhi kerumunan orang. Aku pun sedikit takut dengan ancaman itu, tapi aku harus bergegas karena aku harus masuk pukul 9 pagi waktu setempat.

Saat beberapa langkah ku berjalan, terdengar suara desingan yang sangat kuat. Itu suara pesawat yang sangat dekat. Ia terbang rendah seakan ingin jauh, sekejap mata gedung sebelah tempatku bekerja berlubang dan menimbulkan suara yang sangat besar.

Ledakan itu seakan membuat panik, polisi dan pemadam yang sedang lakukan pencarian bom seakan kaget setengah mati. Sebuah pesawat menghancurkan gedung raksasa kota kami dan semua pihak berpikir ini hanyalah musibah biasa. Iya... musibah kecelakaan biasa.

Dalam hatiku berkata: Aku ingin segera sampai ke gedung dan mengetahui kabar semua rekan kerjaku. Mencoba menerobos orang yang panik dan yang menonton. Bagiku itu hanyalah kebakaran kecil yang tak punya efek apa-apa terhadap gedung kami. Kemudian aku mencoba menelepon mereka, tapi seakan jaringan telepon bermasalah hebat. Aku ingin memastikan sebuah teman dan kolega selamat.

Namun kini aku tak punya pilihan lain selain mencoba masuk. Saat sudah berada tepat di bawah gedung. Pikiranku tertuju dengan sejumlah petugas pemadam dan polisi yang membuat garis pembatas. Aku kesulitan minta ampun untuk menerobos. Malahan mereka yang sudah ada di gedung berhamburan keluar mencari keselamatan.

Tak berapa lama kemudian, ada suara yang hampir sama seperti tadi. Sebuah pesawat melintas lebih rendah dan seakan ingin terjun bebas. Sial... ia menabrak gedung tempatku bekerja. Lontaran material seakan menghambur, aku harus berlindung dan pikiranku mendadak kalut. Tabrakan itu letaknya tak jauh dari restoranku dan pikiranku seakan kacau.

Rasa bahagiaku selama ini seakan lenyap, ini bukan kecelakaan biasa tapi teror. Aku mencoba menyelamatkan diri lebih jauh dibandingkan harus menjadi korban. Gedung tempatku bekerja seakan mulai goyah. Tak ada yang percaya ia akan bisa rubuh namun takdir berkata, ledakan dan kebakaran hebat seakan melunakkan struktur bangunan tersebut. Ia rubuh secara brutal dalam sekejap.

Petugas dibuat tak berdaya menghadapi serangan tersebut, aku pun berlari menjauhi dari runtuhan secepat mungkin. Air mata bercucuran bersamaan dengan runtuhan itu. Kini mereka mungkin sudah tidak ada dan diriku pun mungkin sedang di ujung tanduk.

Mencari tempat aman jadi pilihan, hingga akhirnya sebuah gedung kaca yang menjual barang elektrik memikat mataku. Ia jadi pilihanku untuk berlindung bersama puluhan orang lainnya. Abu runtuhan seakan melemparkan ratusan ton abu ke sekitar.

Segera aku menutup wajah dan melindungi kepala dari abu yang menutupi. Seakan itu sedang memasuki awal musim semi yang indah. Tapi di luar terlihat abu kelabu layaknya musim dingin melanda.

Teriakan dan panik seakan terdengar dari orang lainnya. Aku pun merasa tak bisa berkata apa-apa. Dadaku sesak memikirkan nasib mereka saat ini, mungkin mereka sudah tidak ada. Mimpi indahku selama ini seakan berakhir secara cepat.

Perih karena kini semua hanya tinggal puing-puing. Di pikiranku hanya ada satu cara, menyelamatkan diri sejauh mungkin. Mungkin teror itu belum berakhir dan bahkan ada lebih banyak lagi teror yang menghantui.

Di saat suasana sudah aman aku pun keluar, suasana kelabu terlihat bisa. Selasa kali ini begitu kelabu dan mencekam. Semua berakhir dengan menyakitkan hingga akhirnya bala bantuan datang. Menyelamatkan para orang-orang untuk menjauh dari lokasi tersebut.


Pemadam kebakaran yang menyelamatkanku seakan memberikan handuk basah dan sebotol air. Untung kamu selamat nak, banyak yang lain harus terkubur hidup-hidup di dalam bangunan raksasa itu.

Tapi aku merasa diriku hancur, selamat tapi tidak dengan impianku yang terkubur dalam-dalam. Rasa sedih itu seakan menghantuiku hingga akhirnya aku mengakhiri karier secara dini. Kejam dan sepihak.

Kembali ke negara bagian bersama keluarga lebih baik  dan menata ulang hidup baru. Mereka pun terharu diriku bisa selamat dari serangan mematikan itu. Kini aku mencoba menata hari baru, melupakan semua yang baru saja berjalan menjadi kenangan manis.

Tahun demi tahun berganti, aku pun tak pernah kembali ke sana. Rasa trauma dan takut kuat menghampiri. Suara pesawat dan runtuhan seakan terekam erat di dalam kepala ini. Semua itu seakan sepaket dengan rekan-rekan kerja yang telah tiada.

Rasa takut itu seakan mulai terkikis, diriku mencoba melupakan semuanya. Mendatangi lokasi tersebut yang kini berdiri sebuah taman memorial. Air tenang di taman memorial seakan begitu lekat. Menghilangkan rasa seram kala itu. Aku mencoba tetap tegar, sepucuk bunga dan doa seakan menghampiri di sana. Menatapi belasan tahun lalu, mimpiku tercapai dan ia hilang reda tak kembali.

Tapi aku sadar, itulah jalan takdir yang buatku selamat dari kejadian mematikan tersebut. Memang mimpi itu hancur tapi aku bisa membangunnya kembali karena aku masih punya waktu buat merajut kembali.

Share:

0 comments