Momok Bernama Dewasa
Dahulu mimpiku
bisa menendang bola bak superstar andalanku di lapangan hijau. Menciptakan gol
spektakuler hasil dari melewati barisan pertahanan lawan. Pikir bocah berumur
awal belasan dengan bola yang ia bawa dari rumahnya.
Lapangan di
dekat rumahnya ibarat panggung pertunjukan hingga mungkin kelak pemain besar
masa depan. Menendang bola sekeras-kerasnya hingga mendarat ke rawa-rawa selalu
dilakukan. Membuat capek sang kiper mengambil bola, serasa mimpi itu terasa
dekat.
Pertandingan
baru saja selesai saat marbot masjid mulai menghidupkan kaset mengaji dan
disambut rekaman ceramah. Itu bak waktu Injury time saat bermain dan barulah
teriakan sang emak memanggil dari kejauhan tanda bahwa full time tiba. Amarah sang emak meledak karena bisa telat salat berjamaah di masjid.
Bermain bola setiap hari tanpa mengenal hari dan cuaca buruk
sekalipun. Lalu terbesit di dalam pikiran polos ini.
Aku ingin jadi pesepakbola top, ujar bocah ingusan itu
Mulai dari
menonton setiap pertandingan sepak bola yang melibatkan idola walaupun harus
mengantuk esok hari di sekolah. Atau mengakali dengan menonton cuplikan atau
bahkan berita berjalan. Tim idolanya menang dan sang bintang mencetak gol
senangnya bukan kepalang.
Tak cukup
sampai di situ, tontonan kartun bermaterikan sepak bola tak pernah alpa. Jadi hiburan
wajib sebelum turun ke lapangan. Sungguh bahagia masa kecil tersebut, tanpa
beban pikiran sedikit pun. Semua terasa riang dan gembira, nikmat mana yang tak bisa didustkan?
Namun saat usia
mulai beranjak "berkepala dua", mungkin mimpi itu harus dikubur dalam-dalam.
Realita hidup seakan pahit, cita-cita hanya hobi tak penting semata. Anak-anak
yang punya cita-cita besar menjadi pesepakbola seperti idolanya harus berpikir
realistis. Mengurung mimpinya ke dalam peti dan kuncinya harus ia buang ke laut dalam.
Mana mungkin di
negeri ini menjadi pesepakbola bisa makmur, hidup ini harus sekolah
setinggi-tingginya hingga kemudian sukses akan datang. Orang tua pasti tertawa
terbahak-bahak saat sang anak berkata aku ingin jadi pesepakbola.
Alih-alih
memasukkan bocah yang kakinya gatal dengan bola ke SSB, orang tua lebih memilih
les tambahan yang membuat anak-anak harus berpikir keras sepanjang hari. Menuntut
apa yang tidak ia kehendaki saat masih kecil.
Saat ia
memasuki usia “Kepala Dua”, sekolah tinggi, lulus cepat dan mendapatkan
pekerjaan yang layak jadi salah satu pikir yang ditanamkan. Mungkin bocah-bocah
lainnya mengalami hal serupa, bercita-cita pada hobinya, padam karena kondisi
dan desakan orang tua hingga mengikuti siklus mainstream umat manusia
umumnya.
Mungkin itulah
momok menakutkan saat dewasa, salah satunya mengubur mimpi indah masa kecil. Dewasa
seakan identik dengan kekakuan hidup, menuntut bocah-bocah yang telah dewasa
memilih jalan lain.
Ia pun tak
memantik saat jamnya menendang bola berganti duduk di ruangan perguruan tinggi.
Bersaing untuk dapat predikat terbaik di kelas dan bekerja di tempat favorit.
Itulah mimpinya yang tergantikan.
Mungkin sang
idolanya dahulu telah pensiun kecewa melihat dirinya, gagal memperjuangkan
mimpi. Apa lacur, itulah hidup yang bisa dibelokkan oleh hegemoni
pemikiran orang dewasa tentang sukses.
Kini ia harus
bertarung dengan puluhan ribu bocah-bocah di lapangan pekerjaan, bukan di
lapangan bola. Mendapatkan pekerjaan dengan baju rapi dan bersepatu kinclong.
Walaupun begitu sisa-sisa bermain bola saat masih kanak-kanak tepat ada.
Mimpi tak
tercapai mungkin sebuah kewajaran di negeri ini, menjadi pesepakbola bak utopia
semata. Bukan berarti tidak mampu ke level idolanya sebuah kegagalan, karena
jutaan manusia di planet ini gagal mengejar mimpi.
Tapi jangan
lupakan hobi saat momok dewasa datang, melepaskan lelah bekerja seharian dan
stres nan membebat dengan menonton tim kesayangan. Atau mungkin mencuri-curi
waktu bermain video game bersama bocah yang kini telah berprofesi serupa.
Hingga turun di lapangan bola sebagai amatir saat akhir pekan tiba.
Cintanya kepada sepak bola buat sang bocah tidak melupakan cinta
sejatinya, walaupun ia sadar momok dewasa membuat ia tidak bisa mencintai
sepenuhnya. Ah... sudahlah!
Tags:
Renungan
2 comments
nice, renungannya bagus. Tapi kalau buat saya, itu bukan mengubur mimpi tapi mencari mimpi yang lebih baik. Atau bahkan mewujudkan mimpi, bukan sebagai pelaku dalam mimpi tapi berdampingan dengan mimpi tersebut. Seperti memiliki saham klub besar contohnya?? berjuanglah.. mimpi kamu masih bisa dicapai, bukan sebagai pemain mungkin sebagai pemilik.
ReplyDeleteiya.. mewujudkan mimpi dari cara yang lain sebagai wujudkan cinta
Delete