Siang itu jadi hari yang sibuk, sudah saatnya ia bergegas pergi. Jadwal
penampilannya hanya tinggal menghitung separuh jam lagi. Memacu dengan cepat
hingga akhirnya tiba di sebuah tempat dengan pemancar.
Gedung yang tak asing buat seorang penyiar sepertinya. Para sobatnya sudah
menyapa satu persatu. Kini giliranmu, sudah sejak seharian ia menemani pemirsa
seharian penuh. Mungkin pinggangnya sudah pegal duduk di sana sejak berapa jam
lalu
Di ujung meja terdengar cekikan wanita muda, mereka berbicara disusul
dengan tawa dan cekikan yang mengganggu. Mereka begitu terlihat mencolok, gaun
yang digunakan seakan mencerminkan siapa sebenarnya mereka.
Tak ada satu pun barang tanpa mereka di lingkaran tubuh mereka, pancaran
itu mampu menyilaukan siapa saja yang melihat.
Jeng... tas ini murah kok, aku belinya di Paris langsung saat liburan ke sana
Kapan kita arisan lagi, udah ngga tahan nunggu undian.
Percakapan itu masuk ke dalam telinga, seakan semua yang ada di dekatnya
mendengar jelas pembicaraan mereka.
Sosialita, sebuah status sosial yang tak terbantahkan, citranya seakan
buat para wanita yang tak lagi paruh baya tetap memesona. Mereka membuat sebuah
kelompok yang punya hal sama atas hobi mereka. Duduk di tempat elit, punya
dandanan menor hingga perhiasaan berkilau.
Itulah yang tercermin dari para sosialita, obrolan mereka tak pernah
jauh dengan hidup dan apa yang mereka punya. Sebuah benda berharga yang mereka
miliki seakan mengangkat harkat dan martabat di kalangannya. Si wanita
sosialita yang tak punya pun akan menggerutu di dalam hati. Ia ingin punya serupa
atau bahkan lebih dari itu.
Segala acara dilakukan, tak lain dan tak bukan hanya itu pamer.
Selebihnya itu tak perlu, kasta panjat sosial ini melekat di dalam benak
mereka. Tak sehat memang, tapi itulah gaya hidup mereka pilih. Tak ada yang salah,
hanya saja menguras kas pribadi atau suami.
Memang hidup itu berat bagi mereka, tak boleh ada cela. Sedikit saja
keluar dari koridor yang mereka sepakati, siap-siap akan kena sindiran. Malunya
ampun setengah mati, karena akan terus dibicarakan kapan pun.
Bukan hanya itu saja, segala yang dimiliki pun penuh dengan sindiran.
Liburan atau barang yang dimiliki saja akan terus dikatai tanpa ampun apalagi
sesuatu yang jauh di bawa standar.
Tapi semua itu nyata tak membuat mereka jera, karena pilihan menjadi
sosialita beban peduli akan sesame. Bagaimana saat yang lain tak peduli dengan
diri Anda, dengan bergabung ke sana segala tindak tanduk akan selalu diawasi.
Jangan heran kehidupan tak sehat ini seakan membuat mereka tahu segala
hal yang kadang tidak kita ketahui. Itu semua hadir dari para sosialita…
Hidupmu juga urusanku dan apa yang kamu miliki harus aku miliki juga.
Tertarik ke arah sana, silakan menjadi dalam lingkaran tatanan
masyarakat yang sangat peduli banyak hal.
Sesaat mereka sedang duduk manja, terdengar dering telepon yang
mengheningkan suasana ruangan. Ternyata salah seorang wanita sosialita di
telepon, di ujung pembicaraan terdengar suara omelan sang suami.
Si sosialita yang paling nyaring suaranya seakan mendapatkan teguran
yang membuat ia tertegun.
Ma… cepat pulang. Papa perlu mobil untuk pergi kerja…
Apa yang ia bicarakan dan tertawakan seakan
berbalik jadi teguran si suami untuk cepat pulang. Ada-ada saja memang, tadi
itulah mereka, penuh kejutan setiap apa yang dilakukan.
Kami rindu gelar....
Dahaga gelar seakan kering kerontang berabad lamanya, menahan
raksasa tua dari siberia seakan cerita lama yang selalu dipupuk. Lamanya cerita
itu bak dongeng sebelum tidur, membuat tidur pecinta si kulit bundar.
Peluang itu seakan mulai datang, di mulai pemain-pemain yang punya
kapabilitas tinggi di setiap lini. Hingga jadi tuan rumah bak sebuah kombinasi
lengkap. Kesempatan yang langka karena menjadi penggembira saja tak cukup. Kini
kami berangkat sebagai sang juara, mengangkat tinggi sang trofi ke atas
langit.
Hembusan asap
cerutu menyebar ke seluruh ruangan, pria berkumis tebal sedang sibuk minta
ampun. Ia menaruh cerutu di sebelah asap kaca dan di ujung telepon terdengar
percakapan alot. Suaranya terdengar aneh, aksen bahasanya berbeda jauh. Tawar-menawar
harga seakan terdengar di ujung telepon itu, hingga harga yang disepakati
mencapai deal.
Abu cerutunya
yang sudah memanjang di bibir asbak akhirnya ia angkat, seakan percakapan itu begitu panjang. Suasana ruangan
yang tadinya hening mendadak berubah riuh. Uang kini sudah di genggamannya.
Telepon di ujung sana rupanya datang dari manusia timur ujung yang kerap dengan
dunia judi.
Pagi hari di
awali dengan menyeruput kopi sambil membolak-balikkan koran berita hari ini.
Semua berita dibaca dengan seksama, tak ada berita yang terlewatkan hingga hari
mulai beranjak siang. Rutinitas yang tak pernah dilupakan jelang salat subuh, pergi kedai kopi hingga matahari berada di atas kepala.
Kedai kopi yang berada di tengah lalu lalang manusia,
mencari pekerjaan. Berhambur ke seluruh permukaan bumi para manusia-manusia.
Beda jauh dengan para bujang yang mulai termakan usia, tepatnya mereka disebut
para bujang lapuk.
Mengenal Penulis
Top of The Top
-
Filosofi pohon, semakin rindang dan banyak buahnya makin banyak manusia yang memanfaatkannya. Terik panas yang membakar di siang hari ...
-
Hari mulai senja dan jam pulang kerja pun tiba, semua manusia yang bekerja hendak pulang ke rumahnya. Menghidupkan kendaraan-kendaraan...
-
Gunung terlihat menjulang tinggi, seperti ingin sekali menusuk-nusuk langit. Rupanya yang menjulang terlihat begitu gagah dari kejauhan. Sem...
-
Burung mulai bersiap-siap mengepakkan sayapnya untuk pulang ke rumah, langit mulai terlihat redup bercampur warna kekuningan. Matahari mulai...
-
Gelombang laut adalah benda laut yang sangat setia, tak pernah berpaling dari bibir pantai. Pernahkah dari kalian melihat gelombang laut sam...