Merantau
Hidup statis
khas kampung seakan membuat diriku tak nyaman. Ada gejolak batin yang membuat
aku harus mengambil sebuah keputusan besar di dalam hidup. Mencari kehidupan
yang lebih menantang dan bahkan layak.
Kemilau ibukota
seakan menyilaukan mata, kehidupannya, penghasilannya hingga kejutan lain yang
tak pernah aku rasakan. Aku pun mulai jengah hidup di kampung, sebuah tiket
kapal laut sudah kupilih. Ia lebih murah dibandingkan kapal terbang dari
kampungku.
Pilihan yang ku
ambil seakan ditentang kedua orang tua, mereka ingin membuatku membumi. Melupakan
hasrat yang menggebu-gebu, semua yang aku lihat dianggap mengancam diriku. Ada
banyak hal yang lebih layak diriku lakukan di desa, dibandingkan harus
terlunta-lunta di jalan raya.
Mungkin pikiran kedua orang tuaku begitu dangkal, aku punya
keahlian yang spesial. Apa yang aku lakukan tak cukup sampai jangkauan di
desaku. Hanya ibukota yang paham apa yang aku perbuat. Menemukan komunitas
hidup yang sama rata, bukan menganggapku sebagai orang gila.
Tiket kapal pun
sudah aku pesan jauh hari, dan hari ini adalah hari keberangkatan. Perjalanan
jauh ke sana seakan memberikan sebuah pembelajaran dan kemandirian. Aku bisa
dan aku mampu. Tiket kapal seakan mengujiku, guncangan laut yang kadang
memualkan itu tak seberapa dengan guncangan hidup di ibukota.
Pelukan erat
orang tua mengekang badanku, ucapan hati-hati dan tangisan seakan begitu lepas
di hati mereka. Kini sang anak mengadu nasib ke sana, jalan terbuka untuk
segera kembali menganga.
Suara besar
klakson kapal pun berbunyi, itu seakan menandakan ia sudah siap berlayar. Jangkar
dinaikkan dan mesin turbin besar memutar. Para penumpang melambaikan tangan,
perlahan lambai tangan para pengantar menghilang makin jauh hingga tak terlihat
lagi.
Aku pun tiba di
sana, tak ada yang aku kenal hanya seorang teman dekat yang aku andalkan. Ia pun
menjadi tempat aku berlabuh ke ibukota dan aku siap dengan segala kejamnya
ibukota. Apa yang aku harapkan ternyata tak sesuai dengan harapan, pekerjaan
yang aku harapkan tak kunjung datang.
Mereka menilai
kualifikasi diriku tak memenuhi syarat, aku dianggap biasa saja di tengah bakat
spesial lainnya. Bekal perjalanan hidup dari kampung menipis, kini aku mulai
menyusahkan orang lain.
Hingga akhirnya
aku menyerah pada takdir, meredam rasa malu untuk kembali ke desa. Mungkin itu
semua karena ego yang begitu besar, aku pun harus pulang baik-baik dan berbuat
sama baik. Saat di ibukota pikiranku terbuka, di mana pun kau bekerja pasti kau
tetap mutiara meskipun di dalam kubangan kerbau sekalipun.
Kini aku memanggil kembali kapal yang pernah membawaku, putar
haluan kembali ke desa. Bekerja santai tanpa tekanan, dibandingkan mengharapkan
sesuatu yang tak pasti di kota. Merantau sejenak seakan membuka pikiranku. Hanya
ada pesan di kepalaku, aku rindu kampung.
Tags:
perjalanan
0 comments