Abang harus latihan tenis, seru kali tau....!!
Sebuah himbauan yang mengejutkan pikiranku hening berpikir, diriku seakan
tak bisa atau tahu bagaimana tenis. Itu mungkin hanya salah satu dari olahraga
yang bikin mengantuk. Adrenalin hanya terpacu saat kejar-kejaran skor,
selebihnya hanya tepuk tangan saat pukulan masuk.
Begitulah yang ada di dalam pikiranku, saat mendengar
permainan ini. Bagiku permainan yang terhalang oleh net seakan membosankan. Tak
ada kontak fisik, hanya mereka yang paling tangkas membalikkan bola paling
akurat dan cepat. Mungkin bagiku yang terbesit cuman tenis di meja, selebihnya
olahraga net lainnya tak menarik bagiku.
Waktu menunjukkan pukul 20:00 WIB, keberangkatan
tinggal di depan mata. Para kernet tengah sibuknya mendata penumpang yang sudah
naik ke dalam bus. Mekanisme perusahaan bus mengharuskan mereka berangkat tepat
waktu. Mereka yang terlambat artinya harus gigit jari, karena ketepatan waktu
adalah jargon perusahaan.
Semua penumpang akhirnya di data dengan seksama
sesuai dengan tempat duduknya. Ini bertujuan agar tak ada penumpang ilegal yang
masuk. Hingga akhirnya proses keberangkatan dimulai, ini bertujuan bisa tiba sesuai
dengan jadwal.
Rasanya pertemuan singkat
kita rasanya begitu hambar. Ada rasanya yang aneh saat pertemuan itu terjadi.
Ternyata semua tak seperti yang menjadi prediksi aku sebelumnya, ada hal
mengganjal yang menyakitkan hati.
Pertemuan di salah satu bilangan cafe berakhir
prematur, bahkan bisa dianggap sesuatu yang canggung. Niat awal untuk saling
deeptalk berakhir deepsilent tanpa satu pun yang mengungkap perasaannya.
Dalam sekejap semua berubah total, suasana yang dahulunya begitu lekat seakan lekang secara perlahan-lahan. Ada kesan aneh saat berada di tempat yang telah lama ditinggali, penuh memori tapi miskin harmoni.
Semua kenangan yang melekat seakan hanya bayangan semu, apalagi sifat manusia yang mudah lupa seakan semakin mempercepat masa itu menjadi kenangan. Kondisi serba nyaman seakan menghilangkan makin cepat mengikis setiap rindu itu.
Seorang pria berdiri di pinggir lapangan dengan pandangan nanar, menatap timnya yang terus digempur habis-habisan oleh lawan. Derita semakin bertambah saat pemainnya harus diganjar kartu kuning kedua, bermain 10 pemain di depan pendukung lawan terasa begitu berat.
Sepak bola akrab dengan pemain masuk dan keluar, ada yang pergi dan datang saat transfer datang. Pihak manajemen mengurus segala persoalan tersebut hingga tenggat waktu. Merelakan pemain penting hingga sesosok pemain belia datang, silih berganti hanya untuk bisa memperkuat sebuah tim.
Hidup statis khas kampung seakan membuat diriku tak nyaman. Ada gejolak batin yang membuat aku harus mengambil sebuah keputusan besar di dalam hidup. Mencari kehidupan yang lebih menantang dan bahkan layak.
Kemilau ibukota seakan menyilaukan mata, kehidupannya, penghasilannya hingga kejutan lain yang tak pernah aku rasakan. Aku pun mulai jengah hidup di kampung, sebuah tiket kapal laut sudah kupilih. Ia lebih murah dibandingkan kapal terbang dari kampungku.
Tidak ada yang tahu masa depan bergulir, ia bergerak begitu cepat ke sana dan kemari. Manusia tidak bisa menebak jalan hidupnya atau bahkan orang lain. Dari yang bukan siapa-siapa jadi luar biasa atau yang luar biasa jadi yang terlupakan. Semua itu bisa saja datang dengan tiba-tiba atau kerja keras tanpa jeda. Begitulah jalan hidup manusia.
Semua itu berawal dari seorang pria kurus dengan mimpi yang memenuhi badannya. Ia punya mimpi besar yang mungkin hanya utopia. Semua rasa bisa ia buktikan bahwa ia bukan seorang pemimpi besar di bawah kasur tipis miliknya.
Burung
mulai bersiap-siap mengepakkan sayapnya untuk pulang ke rumah, langit mulai
terlihat redup bercampur warna kekuningan. Matahari mulai pergi tenggelam
perlahan sembari pergi, melaksanakan tugas menyinari wilayah lain nan jauh.