Superstar

Di darahnya mengalir deras jiwa musik, sialnya ia bak bukan seperti pepatah buah jatuh tidak dari pohonnya. Ia belajar otodidak, si bocah mengenal berbagai suara-suara musik di sekitarnya. Ia terlarut dalam lamunan panjangnya, ingin merangkai suara-suara di pikirannya jadi nada runtun.

Mungkin ia bocah lelaki yang beruntung, segala akses musik dibelikan oleh sang orang tuanya. Seakan ia bisa belajar tanpa halangan, menyalurkan kemampuannya dengan alunan musik. Mungkin ia terlalu pendiam dibandingkan dengan saudara lainnya. 


Ia pun kadang larut dengan peralatan musiknya, ajakan bermain di luar rumah oleh teman sejawatnya ia tampik. Akhirnya teman-temannya menyerah membujuknya bermain di luar rumah. Semua itu beranjak hingga ia duduk di bangku sekolah menengah atas.

Di sekolah pun ia bukanlah orang yang populer di sekolahnya, hanya seorang lelaki kurus yang kurang pergaulan. Namun ia punya mimpi besar jadi produser musik dan komputer adalah teman dekatnya.

Ketertarikan itu berlanjut ketika mengenal internet. Dunia yang lebih luas dari kamar sempitnya. Seorang introvent mungkin merasakan dunia baru dan teman baru. Sang itulah kemampuannya diketahui oleh banyak orang.

Sebuah musik remix yang ia kirimkan nyatanya mengubah hidupnya. Mungkin ia hanya menerima telepon dari beberapa teman dekat rumahnya untuk nongkrong. Tapi seorang bos label ternama yang menelepon dan agensi datang ke rumah.

Jelas saja orang tuanya terkejut, anaknya yang bungsu bisa membuat para label takjub. Kini ia pun bukan lagi membuat lagu di kamarnya tapi di sebuah studio berukuran besar. Potongan nada musiknya terdengar unik dan bernilai mahal.

Si produser memang berjudi, memilih seorang bocah hijau yang tidak pernah sekolah musik namun belajar otodidak. Tapi ia percaya pada mata si bocah tersebut, ia akan sukses di industri musik dan menjadi next superstar.

Genre musik itu saat itu begitu payah, terdengar sangat mengganggu, identik dengan narkoba hingga kadang kumpulan manusia paling stres di muka bumi. Si bocah dengan genre barunya seakan memberikan warna baru.

Benar saja, single pertamanya diluncurkan ke channel stream dan video. Dunia musik seakan terguncang dengan nama baru ini. Warna musiknya begitu berbeda dan mampu menarik minat banyak orang. Semua orang membicarakan si anak muda itu, semua kamera tertuju dengannya.

Benar saja, ketenaran datang begitu singkat. Dulunya hanya duduk di depan komputer dan menatap teman-temannya bermain di luar rumah dari kaca jendela kamarnya. Kini semua berubah, permainannya bukan hanya jalanan kota tempat ia tinggal, tapi mancanegara. Ia bisa saja malam ini di Las Vegas dan besok pagi bangun sudah ada di Ibiza atau petangnya sudah ada di Belgia.

Kini ia berubah wujud bukan lagi seorang anak muda ingusan di dunia musik. Ia adalah superstar. Wajahnya terpampang jelas di pinggiran baliho raksasa di setiap tur keliling dunianya. Kini ia adalah DJ produser kenamaan, single pertama tempo hari mengubah hidupnya.

Alunan musik yang ada di kepalanya kini mampu dinikmati oleh banyak orang, bukan hanya ilusi di pikirannya saja. Di atas mainstage ia bak seorang pengkhotbah,  berdiri sambi asyik memutar turntable, mengatur susunan lagu, meloop, scratching, mendelay, dan mereverbation. Penonton hanyut haru dalam setiap tracklist yang ia bawakan.

Penampilan demi penampilan seakan membuat ia terkenal secara global. Si DJ produser seakan mendobrak genre lain yang kuno dan monoton. Memberi angin segar supaya EDM lebih mengglobal, bukan hanya di klub semata. Namun dinikmati semua kalangan.

Ketenaran yang ia dapat seakan membuat wajah selalu menghiasi majalah musik dan ditunggu-tunggu oleh banyak fans. Label superstar seakan buat ia tak nyaman. Waktu me time sulitnya minta ampun. Jet lag, show melelahkan hingga privasi yang terganggu buat ia meradang.
Ternyata menjadi superstar tak ada enaknya, ucapnya
Aku ingin jadi seorang lelaki rumahan kembali. Jauh dari hingar-bingar keramaian. Cita-cita menjadi musisi seakan membuatnya mendapatkan segala impian di masa kecil. Namun ia lelah dan menyerah. Pensiun adalah waktu yang paling tepat ia lakukan, melepaskan label superstar yang melekat.

Hidup normal seperti manusia biasa, bukan dengan penuh kegerlapan fana. Terima kasih musik yang buat hidupku berubah, tapi aku rindu hidup yang sunyi dan senyap seperti dulu. Bukan jadi superstar.

Share:

0 comments