Hafiz Qur’an
Pagi pun mulai
datang saat matahari mulai muncul dari ufuk timur. Seorang pemuda paruh banyak
sedang duduk di salah satu pinggir dinding masjid. Ia sedang khusu’nya mengulang
ayat demi ayat bacaan Al-Quran, hasil hafalannya selama ini supaya lancar.
Menjadi
penghafal Al-Qur’an bukanlah perkara mudah, banyak dari calon hafiz yang tidak
kuat harus menyerah di tengah jalan. Butuh niat yang lurus dan ikhlas,
dibarengi dengan konsentrasi dan istiqamah menjalani proses panjang.
Calon hafiz
harus mulai dari belajar tahsin (membaca Al-Qur’an) dengan benar, baik segi
lafazh (pengucapan) yang benar, ayat, dan fashahah Al-Qur’an. Proses panjang
ini seakan menunjang hafalan Qu’an yang baik di kemudian hari.
Godaan yang saban
waktu bisa menghampiri untuk tidak menghafal dan mengabaikan Al-Qur’an. Kondisi
di lingkungan acap kali jadi ujian sebenarnya menghadapi. Menjaga setiap
ayat-ayat suci tetap lekat di dalam kepala dan hati hingga mendapatkan predikat
hafiz yang melekat erat hingga akhir hayat.
Mereka
penghafal Al-Qur’an ialah manusia istimewa yang hidup di dunia, menjadi setiap Qalam
Allah tetap terjaga saat banyak orang yang hanya menjadikan Qalam Allah sebagai
hiasan dinding atau dipenuhi debu.
Sang penghafal Al-Qur’an
mendapatkan dua pahala nan besar saat dirinya selalu bersanding dengan yakni
pahala membaca dan menghafalnya. Kadang pula mereka punya kemampuan lebih yang
tidak dimiliki oleh teman-temannya yaitu kecerdasan dan keberkahan.
Sikap para
calon hafiz yang lebih cerdas tergambar jelas dalam menyelesaikan pelajaran
hingga pengambilan keputusan. Kemampuannya dalam mengingat sangat membantu
proses belajar dan mengajar. Proses menjalani hafalan Al-Qur’an sangat
membantunya. Itu juga dibarengi dengan sikap tawadhu.
Para hafiz
begitu akrab dengan ingatan dan hafalan, membolak-balikkan mushaf yang sama
setiap hari. Calon hafiz akan menjalani proses dari encoding (memasukkan
informasi di dalam ingatan), storage (menyimpan informasi), dan retrieval
(mengingat kembali informasi).
Semua terbantu
dengan panca indra seperti mata dan telinga serta tangan yang membangun
membolak-balikkan mushaf. Otak seakan memetakan segala informasi itu secara
lengkap. Itu didukung dengan koneksi awalan dan akhiran Surrah, baris ayat
hingga halaman juz begitu melekat erat.
Usia dan
kesehatan tak pernah berbohong, pikiran jadi faktor yang memudahkan menghafal Al-Qur’an
dan tak tertutup kemudian usia senja mampu menghafal Qalam Allah. Semua kembali
kepada niat, walaupun usia bak peribahasa melukis di atas batu sedangkan usia
tua bak melukis di atas genangan air.
Begitu banyak
hafiz muda yang lahir karena mereka memulai dari usia muda, semua terasa begitu
mudah tanpa hambatan. Saat anak-anak muda sibuk dengan hiburan duniawi yang tak
pernah habisnya, hafiz Quran sibuk dengan target hafalannya atau saat anak-anak
sibuk menghafal musik mereka sibuk membenarkan bacaan Al-Qur’an yang masih
keliru.
Sang hafiz
punya waktu pilihan, tempat yang tenang dan sunyi jadi lokasi yang tepat
menghafal Al-Qur’an. Kadang mereka bangun tengah malam untuk menghafal atau
menghabiskan waktu setelah subuh dengan mengulang-ulang hafalan yang masih
tersendat-sendat.
Semua metode
menghafal Al-Qur’an yang beragam dicoba oleh sang hafiz, mulai dari bin-Nazhar,
mencermati ayat-ayat Al-Qur’an yang ingin dihafal dengan melihat mushaf
berulang kali. Tahfizh, menghafal kata demi kata atau ayat demi ayat dan
kemudian merangkainya menjadi sebuah bacaan nan padu. Hingga tahap akhir yaitu Tasmi’
memperdengarkan kepada banyak orang dan orang lain menilai tingkat ucapan dan
harakat dai bacaan sang hafiz.
Untuk bisa
terasa sempurna, sang hafiz harus mentalaqqi, (menyetor) hasil hafalannya
kepada gurunya dan guru akan menilai kemampuan saat penghafal. Bila telah
layak, sudah saatnya ia bisa mencoba hafalannya saat salat, waktu ia ditunjuk
sebagai imam.
Kadang ia harus
mengtakrir atau mengulang-ulang hafalan setiap waktu senggang, akan begitu
merugikan saat yang telah dihafal dan disetor terlupakan begitu saja. Hafalan
itu bak hewan buruan di hutan, saat pemburu telah berhasil mendapatkan
targetnya acapkali mengabaikan buruannya.
Ia begitu fokus
ke buruan selanjutnya tanpa tahu buruan sebelumnya telah kabur, semua terasa
sia-sia. Calon hafiz harus bisa mentakrir hafalannya kapan saja dan di mana
saja, bisa kala salat, bersama hafiz lainnya hingga kepada gurunya. Ia ingin
menjadi pemburu yang tidak melupakan begitu saja habis buruan yang telah ada di
tangan.
Karena mereka
tahu untuk mendapatkan predikat hafiz butuh kerja keras, hingga proses akhir
menjadi seorang imam terkemuka di masjid ternama. Setiap bacaan yang ia bacakan
begitu dirindukan oleh jamaah.
Alunan indah ayat demi ayat terasa syahdu dan merekalah itu hafiz
sang penjaga Qalam illahi. Karena merekalah hamba yang setia menjaga
kelestarian Al-Quran hingga akhir zaman. Saat banyak orang yang mulai melupakan
pedoman dalam mengamalkan hidupnya, yaitu Al-Qur’an.
Tags:
Inspirasi
0 comments