Nelayan dan Jaringnya
Angin laut membawa nelayan pulang ke daratan, membawa sejumlah ikan tangkapan hasil semalam suntuk. Si nelayan siap menjual hasil tangkapannya ke pasar ikan dan mendapatkan jerih payahnya di tengah lautan, melawan mabuk laut dan angin laut yang dingin.
Semua itu tidak didapatkan dengan mudah, si nelayan harus punya elemen penting. Mereka adalah kapal dan jaring. Bila kedua itu tak ada, apa daya si nelayan. Ia hanya merenung sambil memandang laut yang luas.
Bak seorang prajurit yang terjun ke medan peperangan tanpa perbekalan dan senjata, ia tak akan bertahan lama. Begitu pulalah nelayan, menjadikan kapal sebagai moda transportasinya. Mengarungi lautan ganas dan menentukan titik terbaik menangkap ikan. Saat itulah tebaran jaring ia lakukan.
Dahulu saat teknologi tak secanggih dahulu, menjadi nelayan harus punya kekuatan nalar begitu kental. Nelayan harus berangkat pukul ini, pulang pukul ini, tahu di mana keberadaan gerombolan ikan sampai mendeteksi keberadaan badai laut nan mengancam.
Teknologi datang, membuat nelayan tak perlu berpengaruh pulang dan pergi. Semua bisa dilakukan si nelayan secara fleksibel. Kapal nelayan yang memakai layar bertransformasi menjadi kapal mesin lebih bertenaga.
Dahulunya bermodal insting tajam menentukan keberadaan ikan, kini telah ada sebuah alat modern bernama fishfinder. Bekerja dengan kemampuan pantulan suara dan mengetahui koordinat beradaan ikan. Di kedalaman berapakah, berukuran berapakah, dan jumlahnya secara kasat mata.
Baca juga: Filosofi Tukang Parkir
Tapi satu yang tak berubah tergerus oleh zaman, ia adalah senjata andalan tak berubah oleh teknologi. Nelayan terdahulu dan kini masih mengandalkan jaring tangkap yang sama. Cara menebarkannya juga relatif sama. Tak ada yang beda.
Hikayat itulah yang menjadikan nelayan dengan jaringnya sulit dipisahkan walaupun zaman berganti sekalipun. Para nelayan dibantu oleh ABK dalam satu kapal membantu menebar jaring dan menunggu ikan-ikan yang asyik berenang cepat tersangkut.
Sentakan demi sentakan pertanda satu persatu ikan tersebut tersangkut di jaring nelayan. Energi tekanan ke bawah oleh ikan yang meronta begitu terasa kuat. Saat itulah nelayan merasa sudah saatnya menarik jaring yang penuh.
Aba-aba menarik jaring pun tiba, di cuaca laut yang kadang dingin dan kadang terik membuat stamina bisa menurun dengan drastis. Sekuat tenaga para nelayan menarik ikan-ikan tersebut ke dek kapal. Bantuan katrol saja tidak cukup, tenaga manusia adalah opsi lanjutan andai saja perlawanan ikan tak kenal padam.
Tak ada yang menyangka, ratusan bahkan ribuan ikan pelagis sudah berada di atas dek kapal. Si jaring memang sangat menawan dan memberi senyum kepada nelayan. Ikan-ikan pun masuk ke dalam fiber penampungan bersama es yang buat mereka bertahan lebih lama.
Para pembeli ikan sudah menunggu sejak pagi buta di pelabuhan ikan, menunggu satu persatu nelayan. Merapat dan membawa pulang hasil tangkapan mereka, dan tibalah saat nelayan yang kantuk bercampur mabuk laut ke sandaran pelabuhan. Jaring yang rusak diterjang ikan, nanti dipergi baiki. Tujuan sekarang adalah menjual hasil tangkapan kepada para pembeli.
Ia sadar hasil tangkapannya punya nilai jual tinggi dan menjadi makanan idaman di rumah sampai restoran terkemuka. Senyum nelayan dengan para ABK-nya mengembang, hasil jerih payahnya terbayar dan dari rezeki itu ia mampu membiayai kehidupannya.
Itulah mengapa segala jenis ikan yang terhidang tinggal santap, butuh perjuangan nelayan mengarungi samudra. Segala harga yang ditawarkan sepadan dengan perjuangan nelayan, andai saja tak ada yang berani melaut., apa mungkin setiap saat makan makanan darat terus-terusan.
Namun nelayan sadar, dibalik perjuangan keras dan mata pencahariannya tersebut mampu mencukupi kebutuhan protein manusia lainnya. Semua itu tak akan berguna andai nelayan dan perbekalannya tak ada, terlebih lagi sang jaring yang memberi berkah akan hasil tangkap laut yang begitu kaya.
Itulah hikayat nelayan dan jaringnya, tak tergerus zaman dan kekal abadi.
Tags:
Non-fiksi
0 comments