Memantaskan Diri
Aku ialah seorang gadis paruh baya dan kini usiaku kini telah mulai menginjak seperempat abad. Level pendidikan tertinggi di jurusan ternama di kampus telah hampir di kusandang, hanya menunggu seremoni saja.
Namun ada satu yang kurang dan belum terpenuhi, yaitu jodoh. Mungkin rasa gundah dan gulana itu datang tak kenal waktu. Persoalan yang paling tak mengenakkan ialah masalah usia dan teman-teman yang mulai menimbang momongan. Jelas diri ini iri tak menentu karena teman yang telah berkeluarga hidup terlihat penuh akan kebahagiaan.
Salah satu cara yang kutempuh itu bisa dilamar ialah dengan segenap kode nan keras yang ada di semua sosial media. Setiap hari keluhan akan jodoh berseliweran di semua media sosial yang kupunyai. Mana tahu si dia bisa tahu atau bahkan ia adalah follower setia di sosial media milikku membuat calon jodohnya segera datang ke orang tuaku.
Melihat rupa ini di cermin tak ada yang kurang dari diriku, jebolan kampus ternama hingga diriku layak dianggap gadis primadona kampus. Mungkin banyak yang ingin jadi diriku kecuali belum memiliki jodoh.
Apa yang salah hingga saat ini belum ada orang yang serius datang?
Doa pun tak pernah henti-hentinya setelah salat, selalu saja ada kata-kata “mudahkanlah jodohku” tersemat. Mungkin saja esok lelaki berpakaian sopan sambil menimpali senyum tipis yang buat hati terasa tenang.
Mungkin ada yang salah, apa sikapku terlalu berlebihan buat jodoh tak kunjung datang atau aku lupa esensi memantaskan diri sebenarnya?
Pertanyaan itu seakan terus memuncak di dalam kepala ini dan saat itulah aku sadar memantaskan diri lebih dari segalanya. Diriku pun telah berkomitmen di dalam hidup hanya ingin ta’aruf bukan membuang-buang waktu dengan pacaran yang tidak jelas arahnya.
Cermin tak akan pernah salah menilai objek yang ia pantulkan dan jodoh itu layaknya cermin. Ia memantulkan sinar tangkap yang sama namun pada dua insan yang berbeda, siap disatukan dalam ikatan pernikahan.
Memantaskan diri bak cara terbaik membuat dirimu lebih baik, setara dengan orang yang kamu idam-idamkan selama ini. Bagaimana seorang pangeran berkuda mau singgah coba dan melirik, apabila dirimu tak menarik dan punya inner beauty sehingga sang pangeran ingin menepikan kudanya.
Klise perumpamaan di atas gambaran harus adanya kesetaraan antara imannya dan hatinya. Segi pendidikan, kekayaan, dan status akan kalah dengan dua makna krusial tadi. Inilah yang sedang diriku lalui dan ini ibarat ujian kesabaran. Perkara jodoh itu ibarat zona waktu yang sudah ditetapkan.
Introspeksi diri kini aku lakukan, hal yang berlebihan yang pernah aku lakukan sebelumnya mulai dari kode sana-sini, curhat kepada lawan jenis hingga menebar pesona aku hilangkan. Mungkin inilah kesalahan terbesar yang aku lakukan biar sang jodoh berpikir ulang tentangku.
Pagi yang cerah itu pun datang, sebuah pesan singkat masuk dari sebuah nomor yang begitu asing, tak ada di daftar kontak. Sebuah pesan panjang lebar bak sebuah perkenalan diri seseorang. Seorang pria paruh baya ingin ta’aruf hingga menanyakan kesediaan bertemu dengan sang orang tua.
Rasa campur aduk itu datang, mungkin ini jawaban atas penantian panjang doaku selama ini. Ada seseorang yang menanyakan diriku, sekilas foto profilnya terlihat seperti bunga-bunga mimpiku dan kriteria jodoh idaman.
Waktu yang telah disepakati itu pun datang, aku dan seluruh anggota keluarga telah menunggu. Rasa gundah pun tak karuan, bisa saja lelaki yang kala pagi itu mengirimkan pesan membatalkan agenda ta’aruf dalam lamaran.
Namun rasa khawatir itu mendadak cair saat seseorang pria berbaju putih dan dari wajahnya terpancar rasa tenang dalam jiwa. Ia pun berkata pada kedua orang tuaku, mantap untuk meminang putri bapak.
Dalam hati kecilku ingin bertanya lebih kepada lelaki yang mungkin selama ini aku impikan.
Dari manakah kau tahu semua tentangku?
Dengan ringan sang pria yang melamar menjawab, aku adalah follower di sosial mediamu dan pengagum rahasia yang sering memantau tindak tandukmu. Saat dirimu tidak lagi sibuk melemparkan kegundahan dan kegelisahan aku jodoh di sosial media, saat itulah dirimu telah berubah.
Dan kini kita berdua layaknya cermin yang sama, senyum kembang dari diriku seakan terjawab bahwa memantaskan diri ialah akhir dari pencaharian jodoh sebenarnya.
Tags:
Non-fiksi
0 comments