Semata Wayang

Ini kisah hidup jadi satu-satunya anak dalam keluarga, bak ibarat si mata uang dalam merasakan susah dan senang. Punya akses segalanya dan paling disayang tentunya oleh kedua orang tua. Itulah hal yang dirasakan jadi salah satunya anak di rumah, sebutan yang akrab di telinga yaitu anak semata wayang.

Namun begitu banyak prasangka dan dugaan yang dihadapi oleh anak tunggal dalam menjalani hidupnya. Lika-liku hidup siapa yang tak punya, semua pasti merasakan mulai dianggap terlalu manja atau terlalu mandiri. Anggapan itu selalu melekat erat anak satu-satunya sang orang tua, kami ingin mendongkrak anggapan tak berdasar itu.
Proteksi jangan ditanya, si anak semata wayang tidak bisa selepas layaknya anak lainnya. Sifat sayang orang tua yang acap kali over protective dari segala hal, namun itu semua untuk kebaikan.

Masalah berbagi tak usah ada rasa khawatir, semua kasih sayang menyeluruh didapatkan tanpa ada rasa iri dengan saudara lainnya. Menjaga diri dan menjadi diri sendiri adalah cara terbaik, ia tak punya panutan layaknya anak lain yang bisa melihat saudaranya atau menjadi pionir.

Dua hal sering kali menghantui saat berada di rumah, kebahagiaan dan kesepian bak sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Ia harus mengondisikan diri dari kesepian yang setiap waktu bisa melanda dengan mencari hiburan sendiri saat orang tua tak ada di rumah.

Mulai dari memelihara hewan peliharaan, hingga mengajak teman satu hati untuk berbagi segala gundah gelisah yang melanda. Berbicara sendiri kadang bukan hal aneh bagi kami untuk membunuh rasa bosan saat teman sulit dihubungi dan hewan peliharaan mendadak menghilang sejenak.

Kebahagiaan bersama kedua orang tua begitu lekat dengan anak semata wayang apalagi saat family time. Namun itu mendadak jadi kesedihan saat orang tua harus sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang tua yang dilarutkan dengan segudang pekerjaan seakan tak sempat menemani dirimu seorang dirimu di rumah.

Menjadi anak semata wayang pasti sering merasakan kasih sayang berbalut rasa over protective yang diterima. Semua itu dilakukan agar hal tak diinginkan terjadi pada anaknya apalagi ketika jauh dari orang tua.

Sejumlah pertanyaan klasik acap kali sering terlontar dari orang tua walaupun usia telah beranjak dewasa.
Mau ke mana? 
Pergi dengan siapa? 
Mau naik apa? 
Pulang jam berapa?
Kata-kata itu seakan harus dijawab dengan benar tanpa bertele-tele, jelas sebuah tekanan batin saat harus berbohong dan khawatir nan tinggi dari orang tua. Namun bila izin dari orang tua tak kunjung turun, jangan harap bisa pergi. Andai saja memaksakan kehendak, angkara murka pun tiba saat pulang kelak.

Kata siapa anak tunggal sering identik dengan anak yang manja, egois, dan susah diatur. Mereka malah harus memiliki segala kemampuan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya kelak dalam membangun masa depan.
Baca juga: Merasa Asing

Menjadi mandiri sedini mungkin harus dilakukan oleh anak tunggal untuk mempersiapkan segala hal karena tak ada saudara lainnya yang bisa membantunya prinsip tanpa bantuan orang lain sejak dini telah ditanamkan.

Orang tua sejak dini melakukan hal terbaik mulai dari gizi yang optimal, pendidikan terbaik hingga pemilihan teman yang sesuai jadi alasan orang tua pikirkan untuk keberlangsungan anaknya kelak. Anaknya harapan satu-satunya untuk menyambung masa depan.

Walaupun begitu rasa penasaran selalu saja muncul di dalam benak sewaktu-waktu, ingin sekiranya jiwa petualangan tersalurkan dibalik segala proteksi. Mencuri-curi kesempatan pergi bersama teman sambil menikmati bagaimana rasanya lepas, ternyata hal itu mengasyikkan apalagi segala pertanyaan dan rasa penasaran berhasil terjawab.

Kamu tak bisa jadi pionir buat adikmu atau melihat pencapaian yang berhasil ditorehkan oleh saudaramu. Cerminan dirimu adalah batu loncatan untuk diri sendiri. Namun itu bak angin surga karena tak ada yang kata-kata perbandingan antara satu saudara dengan yang lain.

Semua dukungan mengalir begitu deras tanpa ada hambatan asal sesuai dengan relnya. Orang tua seakan selalu mendorong mu untuk maju atas segala rasa gagal dan pahit.

Itu semua tulus untuk sang anaknya bisa membanggakan dan membalas jerih payah orang tua kelak. Saat tak mampu lagi, hanya duduk di kursi melihat anaknya sukses dengan senyum lebar.

Itulah harapan besar yang ada di pundak si semata wayang.

Share:

0 comments