Mafioso

Hembusan asap cerutu menyebar ke seluruh ruangan, pria berkumis tebal sedang sibuk minta ampun. Ia menaruh cerutu di sebelah asap kaca dan di ujung telepon terdengar percakapan alot. Suaranya terdengar aneh, aksen bahasanya berbeda jauh. Tawar-menawar harga seakan terdengar di ujung telepon itu, hingga harga yang disepakati mencapai deal.

Abu cerutunya yang sudah memanjang di bibir asbak akhirnya ia angkat, seakan percakapan itu begitu panjang. Suasana ruangan yang tadinya hening mendadak berubah riuh. Uang kini sudah di genggamannya. Telepon di ujung sana rupanya datang dari manusia timur ujung yang kerap dengan dunia judi.

Seakan ia ingin membeli semua, manajer, pemain hingga melobi tokoh penting negeri. Liga tinggal menunggu sepak mula, tiket sudah dicetak jauh-jauh hari sebelum laga. Banner pertandingan sudah menghiasi jalan di dekat stadion dan penggemar bola sudah siap menghabiskan waktunya untuk melihat timnya bertanding.

Siapa yang tak kenal klubnya, raja kandang yang siap menghancurkan siapa saja tim yang datang.  Namanya harum di Kotanya, bak lambang kebanggan kota. Deru suporter seakan membuat nyali lawan ciut, kiper lawan bisa saja kencing dari celana andai ia level mental tempe.

Persiapan akhir latihan begitu krusial, pria bercerutu itu seakan punya lobi yang kuat. Ia mencium gelagat tak mengenakkan dari ruang ganti tim tuan rumah. Gaji mereka bulan kemarin belum cair, dua laga tandang sebelumnya seakan tim harus menerima pil pahit. Manajemen berjanji akan melunasi gaji sebelum musim berakhir. Efek gaji seakan buat bermain ogah-ogahan. Teriakan sang istri pemain buat konsentrasi pemain buyar, gaji yang dijanjikan masih sebatas isapan jempol.

Mafioso melihat celah menanggalkan rasa cinta klub dan patriotisme. Siapa yang tidak tahan bermain dalam lapar dan gundah? Celah kecil ini bak peluang para mafioso bermain, mengatur segalanya tanpa terkecuali.

Pemain yang lesu setelah latihan mendadak di sapa oleh pria tak mereka kenal, berlagak baik setengah mati. Menawarkan iming-iming segepok uang yang menghentakkan jiwa, uang yang mungkin separuh kontrak. Kini ia hadir di depan mata di tengah himpitan ekonomi membeli. Lupakan klub sejenak yang telah kami ingkar, kini waktunya menikmati uang kejut. Hasil petaruh tengik di ujung dunia sana.

Klub yang terkenal raja kandang pun mencoba untuk bertekuk lutut dari klub semenjana kecil di ujung nusantara. Bermain mata atau bermain bak gajah malas di penakaran, jiwa yang semangat setengah mati seakan sejenak mata suri untuk sebuah materi.
 
Jangan sok idealis, semua itu harus realistis. Bermain buruk, mendapatkan uang dan buat anak istri tersenyum. Deal itu sudah sampai, dari pihak berakses timur, pria bercerutu hingga pemain yang lugu harus mangut-mangut.

Hari laga berlangsung pun tiba, suporter pun mulai datang memadati stadion. Pakaian kebesaran marwah klub melekat di badan suporter. Tiket mendadak ludes karena laga itu tergolong krusial karena jadi laga terakhir di kandang. Petang yang cerah dan akhir pekan makin melengkapi suporter menghabiskan akhir pekannya di stadion.

Nyanyian suporter mulai terdengar, brigade musik di sudut lapang siap mengatur vokal para suporter. Bernyanyi tanpa henti untuk dukung moril tim. Pemain sudah tiba di lorong pemain bersiap memasuki lapangan mereka. Tak ada yang aneh dari gelagat mereka, semua sudah bersiap dengan peran masing-masing.

Si pengatur duduk di atas tribun, gepok uang yang ia berikan pada sejumlah pemain seakan berbuah manis. Tim lawan yang lemah seakan bermain lebih baik, sedangkan tim tuan rumah seperti tidak ingin bermain. Umpan buruk, pelanggaran tak perlu, miskomunikasi hingga kesalahan elementer di sepak bola. Kami ibarat 11 pemain amatiran yang lupa cara bermain bola, gelap mata oleh uang panas. Ia muncul tenggelam dalam pikiran, setiap bola datang, kukira itu gepok uang itu.

Fans pun mulai bersiul melihat penyerang membuat peluang bersih atau bahkan pemain bertahan yang membiarkan lawan menusuk, menendang, dan mengobrak-abrik pertahanan. Ini semua ada yang tidak beres, fans yang datang mulai gigit jari. Suara nyanyi mulai meredup berganti cemoohan, jangan sampai ini jadi kekalahan pertama di markas keramat mereka.

Si pengatur tersenyum dari kursi kelas atas, bebas sengatan matahari dan angin sore. Ia pun menelepon orang timur, semua berjalan sesuai rencana. Mereka sudah aku beli murah, pikiran mereka terasuk uang kaget. Hasil dari situs judi lebih mengunggulkan tim tuan rumah dengan Voor relatif besar. Sulit dipercaya bahwa rekor kandangannya rusak karena tim semenjana tanpa nama.

Peluit wasit pun berbunyi, pemain tertunduk lesu dan fans pun tidak bisa berbuat apa-apa. Tim mereka kalah mengejutkan, para pemain seakan langsung masuk ke loker room. Wajah penuh lelah dan kepalsuan kini harus dihadapi, pelatih pun kecewa berat karena kalah. Ia pun wajar, pemain seakan bermain setengah hati karena gaji dilunasi.

Tapi bukan itu, hanya para pemain yang mengerti itu semua. Ada gepok besar yang bisa membuat senang anak istri. Uang yang buat rasa malu dan bermain buruk tadi sebanding dari perjudian kelas atas. Tertawa keras sangat pengatur, seakan ia senang bisa mengatur para pemain, pelatih, dan emosi suporter jadi sebuah dagelan.

Mafioso itu ada wujudnya, bersuara di ujung telepon tapi ia bisa menutup gema satu stadion. Ia akan kembali dengan pengatur yang tak terduga. Bisa saja tim di ujung negeri atau bahkan tim besar mapan, saat melihat celah di dalamnya. Mengubahnya sesuai keinginan rumah judi sialan itu.

Kembalikan waktu dan uang kami atas dukungan tim kesayangan, Dasar Mafioso!

Tags:

Share:

0 comments