Bujang Lapuk

Pagi hari di awali dengan menyeruput kopi sambil membolak-balikkan koran berita hari ini. Semua berita dibaca dengan seksama, tak ada berita yang terlewatkan hingga hari mulai beranjak siang. Rutinitas yang tak pernah dilupakan jelang salat subuh, pergi kedai kopi hingga matahari berada di atas kepala. 


Kedai kopi yang berada di tengah lalu lalang manusia, mencari pekerjaan. Berhambur ke seluruh permukaan bumi para manusia-manusia. Beda jauh dengan para bujang yang mulai termakan usia, tepatnya mereka disebut para bujang lapuk.


Menunggu wanita idaman hingga kadang lupa usia berjalan sangat cepat. Dahulu para lelaki muda yang rupawan, kini masa itu berlalu hingga mereka merasa sudah setengah tua. Persoalan itu bukan hanya terjadi di setiap sudut kedai kopi.

Jangankan untuk bisa membina keluarga, pekerjaan tetap saja belum dipunya. Mengapa ini terjadi, cerca para bujang dalam hatinya. Sepertinya ia harus menghabiskan waktu tuanya sendirian, ditemani kopi dingin yang lama belum diseruput.

Pedih memang, zaman yang berat jadi alasan para bujang pasrah pada keadaan. Lapangan kerja yang sempit dan butuh skill penuh jadi rintangan, usia yang sudah lebih makin buat bujang terhimpit. Jangan mendapatkan pujaan hati, untuk mendapatkan kerjaan tetap tak kalah sulit.

Wanita muda seakan acuh pada mereka, stigma malas dan negatif melekat. Sekarang saja aksi di kedai kopi, bagaimana kalau menikah dari salah satu bujang di situ. Pasti ia akan lupa pada isi periuk di rumah.

Tak ada pilihan lain kecuali bertahan pada kondisi pelik ini, kini giliran bagaimana mengubah persepsi itu. Para bujang lapuk yang sejak pagi malas dan malam matanya mereka malah makin tajam seperti musang. Mengubah anggapan itu, seakan menghilangkan wajah muak pemilik kedai kopi.

Toh tak ada yang terlambat mengubah diri, menjadi bujang yang lebih terhormat. Wanita-wanita desa yang dahulu sinis kepada mereka kini tak melihat lagi bersandar di kursi malah kedai kopi. Tapi mulai bekerja serabutan, mengais rezeki yang bertaburan sejak kokok ayam.

Pekerjaan yang dulunya begitu sulit seakan mulai datang menghampiri. Cambuk kerja keras para bujang layu yang mendadak mekar setelah disemprot bertahun-tahun. Satu tujuan yaitu memantaskan diri, jenuh dengan masa lalu yang selalu begitu saja. Kini kami bisa menggaet wanita idaman dan bahkan dianggap bujang tua lapuk lagi.

Sekejap mata para bujang seakan melakukan yang mustahil mereka lakukan dahulu. Jam di kedai kopi berkurang, waktu yang dulu lebih akrab dengan koran serta catur. Kini berganti dengan bekerja di pasar, mengumpulkan pundi nafkah untuk diri ini dan si pujaan hati.

Mungkin dahulu ia selalu membuang muka di setiap langkah di kedai kopi. Kini senyum diriku mampu dibalaskan senyum tipis. Dulu tanpa basa-basi, kini omongan yang kadang kakiku kebas berdiri.

Semua seakan menghapus cap buruk dahulu, dari bujang lapuk menjadi calon pria bertanggung jawab. Si wanita mulai merasakan panggilan alam itu, rasa kesalnya dahulu pada si bujang itu. Menjadi rasa bangga, ia sudah membuktikan diri bahwa semua bisa berubah dan mengubah hidup.

Cukup... sekarang jangan panggil aku bujang lagi......

Tags:

Share:

0 comments