Ini kisah hidup jadi satu-satunya anak dalam keluarga, bak ibarat si mata uang dalam merasakan susah dan senang. Punya akses segalanya dan paling disayang tentunya oleh kedua orang tua. Itulah hal yang dirasakan jadi salah satunya anak di rumah, sebutan yang akrab di telinga yaitu anak semata wayang.
Namun begitu banyak prasangka dan dugaan yang dihadapi oleh anak tunggal dalam menjalani hidupnya. Lika-liku hidup siapa yang tak punya, semua pasti merasakan mulai dianggap terlalu manja atau terlalu mandiri. Anggapan itu selalu melekat erat anak satu-satunya sang orang tua, kami ingin mendongkrak anggapan tak berdasar itu.
Tak ada yang menyangka itu adalah selasa kelam di kota metropolitan dunia, New York. Langit begitu cerah dan aku siap dengan pekerjaan baruku di sebuah restoran ternama. Bagaimana bangganya diriku bisa bekerja di sebuah restoran tertinggi di kotaku. Orang tuaku di negara bagian pasti tersenyum bangga dengan pekerjaanku saat ini.
Awal mulanya dirinya sering dianggap lemah oleh sekitarnya. Ia telat memulai saat orang lain telah begitu akrab dengan teknologi, sering ditertawai dan jadi bahan olok-olok adalah makanan sehari-hari si pria.
Pria itu tak bergeming dan ia sadar bahwa tertinggal. Namun ia harus mengejar segala ketertinggalan tersebut dari teman-temannya. Di saat yang lain dengan mudahnya berinteraksi dengan teknologi, si pria hanya mampu memperhatikan itu semua. Ia layak dianggap manusia gaptek di antara kumpulan manusia melek.