Pencitraan

Di sebuah sudut resto mewah kumpulan anak muda duduk rapi di saing berhadapan Mereka sibuk dengan gawainya masing-masing, seakan ingin menampilkan sesuatu yang berbeda.

Pakaian serba mewah melekat di tubuh dengan berbagai barang branded lainnya.


Mulai mengupload makanan, memosting foto, lokasi, hingga melakukan segala yang ia anggap hits.

Ada yang spesial bagi dirinya, resto tersebut baru dirinya yang pertama kali menginjakkan kakinya. Setiap tempat bak ialah lokasi pencitraan, ia mengejetawahkan dirinya yang pertama datang.

Ia merasakan paling hits dalam mencitrakan hidup, lebih awal langkah dibandingkan teman-temannya. Aku menang kali ini, pekik dalam hatinya.

Deretan foto mewah, ribuan like seakan membuat diri puas atas keakuan tersebut. Seakan ingin berkata pada orang lain:
Hidupku lebih bahagia daripada nasibmu..
Semua seakan hidup ini dibuat untuk terlihat begitu sempurna.

Liburan pun tiba, seakan ia ingin terlihat sebaik mungkin dalam liburan. Semakin jauh tempat yang ia kunjung makin semakin baik dirinya, seakan komentar dan like bukti penasbihkan dirinya. Itulah zaman now, zaman manusia menutupi dirinya untuk terlihat paling sempurna.

Ia paling hits, paling kaya, tampan hingga ia paling menyenangkan. Semua ia tampilkan dalam wujud pencitraan. Rasa itu seakan membuktikan kelasnya, seakan apapun yang ia post adalah wujud dari dirinya. Sedangkan orang yang lain tidak akan seperti dirinya.

Lalu daring media makin kencang riuhnya, seakan memberikan tanda kuat berhasil mengelabuhi teman-temannya. Ia tersenyum dan ingin melakukan hal lebih melelahkan lagi.

Mengorbankan isi kantongnya hanya segelas dan sepiring makanan untuk di upload. Tak di makan dan enak di perut urusan belakangan. Aku ingin pamer dalam hatinya, ia kesempatan yang paling tepat.

Tak cukup sampai di situ, hidup menghidupkan citra kadang ditutupi hal-hal semua. Terlihat bak seorang pujangga. Menutupi dan menganggap bahwa dirinya orang yang puitis.

Kata-kata tak tahu dari mana rimbanya, terlihat sangat menawan langsung dicomot. Kemudian menjadi sebuah kalimat menawan. Kata-kata itu jadi sebuah status palsu selanjutnya, dan tak lama ratusan hingga ribuan orang memberikan like.

Dirinya makin bangga saat ada yang berkata:
Kamu begitu puitis, luar biasa dan sebagainya...
Seakan ingin mengaktualisasi diri malah terjebak di dalam penjara kekang bernama pencitraan. Ibarat ingin terlihat kinclong di mata orang lain, seakan menutupi segala yang ia tak mampu menjadi mampu.

Mungkin media sosial manusia terlihat kuat dan anggun layaknya buruk merak. Tapi ia hanyalah seorang itik buruk rupa yang sedang bermain lumpur.

Pencitraan itu melelahkan, ibarat menutupi segala kebenaran dengan kedok yang enak dilihat oleh mata.

Mungkin politisi tahu betul kapan waktu yang tepat, seakan sudah tahu kapan tanggal mainnya. Memainkan perasaan masyarakat dalam bingkai citra baik, nyata itu minat menyedot perhatian. Ia seakan merebut hati masyarakat kadung jatuh hati, sulit mengabaikan.

Tapi mereka yang biasa-biasa tanpa mencitrakan diri, hidup dengan ketenangan dan kesyahduan hidup. Tak perlu pencitraan sana dan sini, kadang ia tersenyum menyaksikan kepalsuan hidup. Membuat hidup tidak tenang akan aktualisasi diri palsu.

Karena sebuah pembuktian tak sebatas hanya citra saja, seekor singa tidak perlu mengatakan pada dunia ia raja singa tetapi semua makhluk rimba telah tahu bahwa dirinya ialah raja.


Seperti itulah aktualisasi diri, tak perlu pencitraan... Toh semua sudah tahu bahwa dirimu sebenarnya tanpa perlu mencitrakan diri yang melelahkan.

Share:

0 comments