Lapangan dan Genangan

Malam itu di hujan turun dengan begitu deras, turun tanpa jeda.. seakan mengisi kealpaannya selama ini menyirami bumi.

Pantulannya pada genting menghasilkan suara yang sangat besar, dedaunan pun tak kuasa menahannya. Siapa saja yang berteduh di bawahnya tak selamat dari basah kuyup.


Pagi harinya semua baru terlihat, genangan ada di mana-mana. Jalan yang berlubang seakan menampung hujan sisa semalam tanpa memberinya akses ke selokan. Paling mencolok dari itu semua ialah lapangan bola. Tempat biasanya mengolah bola seakan tak luput dari keganasan hujan semalam, setiap lubang di lapangan tak ada satu pun yang tak digenangi air.

Bagian yang paling sering dihinggapi genangan yakni di bawah mistar gawang. Apa daya sang penjaga gawang harus berjibaku di dalam genangan air. Lokasi lain yang tak luput yakni lingkaran tengah kick off pertandingan, mengenangi supaya tak ada yang mau bermain sepak bola petang itu.

Mungkin orang dewasa akan berpikir berapa kali untuk turun ke lapangan yang becek. Sepatu mahalnya akan kotor atau bajunya terpercik becek saat berlari. Lapangan yang telah mereka sewakan tak ada yang main, kecuali bocah-bocah bau tengil tak takut kotor.

Bermodal kaki ayam, mereka bermain tanpa ampun. Becek adalah hal yang tak seberapa bagi mereka. Semua semakin menggila saat hujan semalam kembali turun kala mereka bermain. Itu seakan kode untuk bermain tanpa ampun hingga petang datang.

Bagi para bocah itu sebuah kebahagiaan tak terulang. Hujan dan lapangan yang tergenang ibarat sebuah korelasi sangat lengkap. Namun bagi sebuah bangsa dan pengelola lapangan bola itu adalah rapor merah. Hujan sedikit tapi tak bisa merumput berhari-hari, ada yang salah dalam pengelolaannya.

Kemajuan bangsa bisa diukur sebagai mana lapangan bola punya drainase yang baik. Bukan hanya dipotong dengan celurit saat sudah panjang lalu diambil oleh para peternak sapi buat makanan ternaknya.

Saya pun kadang sering mengelus dada saat menyaksikan liga sepak bola tanah air, bukan masalah kontroversi liga tak pernah kunjung reda tapi masalah klasik bernama lapangan.

Punya stadion yang sangat besar dengan pembangunan ratusan miliar tapi lapangannya tak jauh beda dengan lapangan kampung yang sistem pemotongannya dengan mulut sapi ternak warga. Hujan banjir dan saat kemarau rumput menguning ibarat di hamparan padang sabana stepa.

Genangan air, rumput yang menguning karena tak pernah disiram hingga lapangan yang tak rata. Semua itu jadi hal klasik yang tak pernah berubah, ibarat sebuah ciri khas. Penghakiman datang saat hujan turun, pertandingan yang baru berlangsung seperempat babak berubah.

Hujan pun turun tak karuan membuat pemain bola tak karuan dalam mengontrol bola. Operan-operan pendek berubah menjadi umpan panjang langsung ke pertahanan lawan. Seakan tak ada cara lain. Lapangan tak mampu menahan itu semua, ia seakan hanya tahan guyuran gerimis saja. Tapi kali ini yang datang hujan deras tanpa jeda..

Drainase apa kabar?
Ia tak bekerja sama sekali, aliran air tak sampai ke situ. Penonton seakan sedang menonton laga tarung air di lapangan, pemain seakan setengah bermain lumpur. Baju tak selama dengan kotor yang ada di mana-mana.

Lalu sang kiper pun seakan bermain setengah hati. Ia seakan kesulitan dalam menentukan tendangan saat lawan mendatang. Ibarat sebuah parodi yang dimulai, kadang hujan sebuah drama yang sangat besar.

Namun hujan bak sebuah berkah besar, saat negeri lain datang menjamu tim kita. Korelasi lapangan yang tak terlalu baik drainasenya dengan hujan bak sebuah berkah dan bencana buat negeri lain. Mereka kesulitan minta ampun bermain dengan lapangan tergenang. Sedangkan pemain tanah air seakan kegirangan, ibarat sebuah bantuan alam yang menyertai.

Pemain bola kita seakan kembali bernostalgia dengan masa lalunya. Hujan datang dan lapangan dipenuhi dengan genangan air. Seakan menguatkan memori bermain sambil memetik hasil optimal.

Saat lawan kesulitan mengoper bola, pemain kita seakan termanjakan dengan sapuan bola saat di atas air. Lalu saat mata lawan kelilipan hendak melihat,  pemain kita makin membuka mata lebar-lebar. Hasilnya pemain kita menang dengan mudah dan lawan kepayahan setengah mati.

Itulah hujan dan lapangan bola klasik, seakan menggambarkan kearifan lokal bahwa ketidaknyamanan dan ketertinggalan ialah senjata menakutkan.

Masalah cemoohan, itu urusan belakangan yang penting kita menang bukan? Berkat kamu lapangan dan hujan datang di waktu yang tepat.

Share:

0 comments